Jalin Ukhuwah

Jalin Ukhuwah

waKTu sHoLat

Cermin Diri

Dalam riwayat Asakir dari al-Ashma’y disebutkan bahwa Abu Bakar jika dipuji beliau berdo’a “Ya Allah Engkau lebih tahu tentang diriku dan saya lebih tahu dari mereka. Ya Allah berikan kebaikan padaku dari apa yang mereka sangkakan. Ampunilah aku dari apa yang mereka tidak tahu dan jangan azab aku dari apa yang mereka katakan.”

=================================================

Saat kita menanam padi, rumput pun ikut tumbuh. TAPI..saat kita menanam rumput, tidak pernah tumbuh padi. Dalam melakukan kebaikan, kadang-kadang hal yang buruk turut menyertai. Namun, saat melakukan keburukan, tidak ada kebaikan bersamanya. Jangan bosan untuk berbuat baik, meski kadang tidak sempurna. Manusia menjadi sempurna justru karena memiliki Kekurangan disamping kelebihannya & Kelemahan selain kekuatannya…

thiNk aBout...

Menyendiri lebih baik dari pada berkawan dengan yang buruk & teman bergaul yang saleh lebih baik dari pada menyendiri. Berbincang2 yg baik lebih baik dari pada berdiam & berdiam adalah lebih baik dari pada berbicara (mengobrol) yang buruk (HR. Al- Hakim)

===================================================

Sebaik-baik sahabatmu ialah yang selalu memperhatikan kepentinganmu, bukan karena suatu kepentingan yang diharapkan daripadamu untuk dirinya (Al Hikam)

Jumat, 14 September 2012

Baik Sangka


Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh. “Di mana keadilan Allah?”, ujarnya. “Telah lama aku memohon dan meminta padaNya satu hal saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan padaNya. Kujauhi segala laranganNya. Kutegakkan yang wajib. Kutekuni yang sunnah. Kutebarkan shadaqah. Aku berdiri di waktu malam. Aku bersujud di kala Dhuha. Aku baca kalamNya. Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikut jejak RasulNya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku itu. Sama sekali.”

Saya menatap iba. Lalu tertunduk sedih.
“Padahal,” lanjutnya sambil kini berkaca-kaca, “Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhalaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa dia menginginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya telah tersaji. Semua yang dia minta didapatkannya. Di mana keadilan Allah?”

Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya. Saya bisa saja mengatakan, “Kamu sombong. Kamu bangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain. Kamu tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana Iblis telah terlen! Jangan heran kalau doamu tidak diijabah. Kesombonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai beterbangan. Mungkin kawan yang kau rndahkan jauh lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah karena dia merahasiakan amal shalihnya!”

Saya bisa mengucapkan itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya.

Tapi saya sadar. Ini ujian dalam dekapan ukhuwah. Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya harap lebih bermakna baginya daripada sekedar terinsyafkan tapi sekaligus terluka. Saya khawatir, luka akan bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya.

Maka saya katakan padanya, “Pernahkan engkau didatangi pengamen?”

“Maksudmu?”

“Ya, pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”

“iya. Pernah.” Wajahnya serius. Matanya menatap saya lekat-lekat.

“Bayangkan jika pengamen adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan yang memekakkan telinga. Suaranya kacau, balau, sengau, parau, sumbang dan cempreng. Lagunya malah menyakitkan uluh hati, sama sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”

“Segera kuberi uang,” jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”

“Lalu bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi; apa yang kau lakukan?”

“Kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata, mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu. “Lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”

Saya tertawa.

Dia tertawa.

“Kau mengerti kan?” tanya saya. “Bisa saja Allah juga berlaku begitu pada kita, para hambaNya. Jika ada manusia yang fasik, keji, munkar, banyak dosa dan dibenciNya berdoa memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan pada malaikat: ‘Cepat berikan apa yang dia minta. Aku muak mendengar ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya!”

“Tapi,” saya melanjutkan sambil memastikan dia mencerna setiap kata, “Bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang dicintaiNYa, yang giat beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan menegakkan sunnah; maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikatNya: ‘Tunggu! Tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sunggu Aku bahagia bila diminta. Dan biarlah hambaKu ini terus meminta, terus berdoa, terus menghiba. Aku menyukai doa-doanya. Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menykai khusyu’ dan tunduknya. Aku menyukai puja dan puji yang dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dariKU setelah mendapat apa yang dia pinta. Aku mencintaiNya.”

“oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”

“Hmm..pastinya aku tak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”

Dan dia tersenyum. Alhamdulillah.


-DDU-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instrument...